PERDAMAIAN itu akhirnya tercapai di Beijing, Cina, pada Jumat, 10 Maret lalu. Setelah puluhan tahun tegang, pemerintah Republik Islam Iran dan Kerajaan Arab Saudi bersepakat menormalkan hubungan kedua negara dengan dimediasi Republik Rakyat Cina.
Delegasi Iran yang dipimpin Admiral Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tinggi, bertemu dengan delegasi Saudi pimpinan Musaad bin Mohammed Al-Aliban, Menteri Negara dan Penasihat Keamanan Nasional. Setelah berunding selama lima hari, kedua pihak mencapai sejumlah kesepakatan.
Tak ada dokumen resmi yang dirilis mengenai isi kesepakatan mereka. Dalam pernyataan bersama, mereka hanya menyebutkan kedua negara ingin menyelesaikan berbagai ketidaksepakatan melalui dialog dan diplomasi serta dalam suasana persaudaraan. Mereka juga mengakui prinsip dan tujuan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) serta berbagai konvensi dan norma internasional.
Kesepakatan mereka antara lain menjalin kembali hubungan diplomatik dan saling membuka kedutaan di kedua negara. Menteri luar negeri kedua negara juga akan segera bertemu untuk mewujudkan kesepakatan itu.
Kesepakatan itu pun menekankan penghormatan terhadap kedaulatan dan tak akan ada intervensi urusan dalam negeri masing-masing. Iran dan Saudi juga akan menerapkan perjanjian kerja sama keamanan yang diteken pada 2001 dan perjanjian umum pada 1998 yang memperkuat kerja sama di bidang ekonomi, teknik, ilmu, kebudayaan, olahraga, dan pemuda.
Wang Yi, Direktur Kantor Komisi Luar Negeri Komite Sentral Partai Komunis Cina yang mendampingi Ali Shamkhani dan Musaad bin Mohammed Al-Aliban, menyebut kesepakatan tersebut sebagai “langkah bersejarah” dalam upaya memperbaiki hubungan kedua negara. Wang menyatakan perundingan ini telah mencapai hasil yang signifikan dan sebuah kemenangan atas dialog dan perdamaian.
Shamkhani dan Musaad mengapresiasi pemerintah Cina yang telah mengupayakan pertemuan ini. Mereka menyatakan akan menerapkan konsensus yang dicapai untuk memperkuat kehidupan bertetangga dan menjaga stabilitas kawasan secara bersama-sama.
Mahdi Rounagh, charge d'affaires (pelaksana tugas) Duta Besar Republik Islam Iran untuk Indonesia, menyebutkan kesepakatan ini tercapai setelah pemerintah Presiden Iran Ayatullah Ebrahim Raisi memprioritaskan peningkatan hubungan dengan negara-negara tetangga dalam agenda kebijakan luar negerinya. “Kebijakan ini digenjot sejak dua tahun lalu,” katanya pada Selasa, 21 Maret lalu.
Menurut Rounagh, berdasarkan prinsip tersebut, Iran berusaha membangun hubungan baik dengan semua negara tetangga di kawasan Timur Tengah atau Asia Barat. “Khususnya dengan Arab Saudi sebagai salah satu negara terpenting di sana, yang menjadi prioritas kami,” ucapnya.
Sejak Raisi memerintah, Rounagh menuturkan, berbagai pembicaraan dengan negara tetangga dimulai. “Kami telah melakukan berulang kali putaran negosiasi dengan Arab Saudi, di Irak, Oman, dan lain-lain, untuk menyelesaikan persilangan pendapat, meningkatkan kerja sama, dan mencapai kesepakatan demi memperluas keamanan di kawasan,” ujarnya. “Setelah melalui berbagai putaran negosiasi di banyak negara, akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan di Beijing.”
Mahdi Rounagh tidak menjelaskan pokok perselisihan antara Iran dan Saudi selama ini. Dia hanya memastikan “tidak ada masalah politik di antara kedua negara”. “Saudi adalah saudara, tetangga. Perbedaan pendapat adalah hal biasa,” katanya.
Rounagh membantah ada campur tangan Iran dalam perang di Yaman. “Iran tidak pernah mengirim senjata ke mana pun,” tuturnya. Rounagh juga mengingatkan bahwa ada blokade di Yaman. “Mengirimkan makanan saja sulit, apalagi mengirimkan senjata,” ucapnya. Selain itu, “Negara seperti Amerika punya peralatan pengintaian yang dengan mudah mendeteksi pengiriman senjata.”
Pemicu ketegangan lain adalah posisi Iran sebagai negara nuklir. Negeri itu mengaku mengembangkan nuklir untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan pembangkit tenaga listrik. Namun negara-negara Barat menuduh Iran mengembangkan senjata nuklir.
Rounagh menegaskan, Pemimpin Agung Iran telah mengeluarkan fatwa yang mengharamkan pembuatan, penyimpanan, dan pemakaian senjata pemusnah massal, termasuk senjata nuklir. “Jadi mana mungkin pemerintah Iran mengembangkan senjata nuklir?” ujarnya. Meski demikian, posisi Iran sebagai negara nuklir telah mengukuhkan posisinya di Teluk Persia.
Negara-negara di Timur Tengah telah menyaksikan berbagai perang, seperti di Suriah, Irak, dan Yaman. Banyak sekali ketidakamanan dan persoalan yang terjadi di kawasan ini. “Negara-negara di kawasan akhirnya mencapai titik bahwa kawasan ini tidak bisa tahan lagi dengan begitu banyaknya perang dan persoalan,” kata Rounagh. Hal inilah yang mendorong mereka untuk merajut kembali hubungan yang sempat putus.
Menurut Rounagh, Timur Tengah, khususnya Teluk Persia Persia, adalah kawasan dengan keamanan yang rawan. “Kerawanannya sering disebabkan oleh faktor eksternal, yang biasanya dilakukan oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat,” katanya. Mereka, tutur dia, menciptakan masalah keamanan di sana agar perdagangan senjata mereka laris manis.
Iran, menurut Rounagh, adalah bagian dari Timur Tengah, yang memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjadi tetangga yang baik bagi negara lain dan hidup saling menghormati. Dengan semangat itulah, dia menambahkan, Iran dan Saudi mencapai kesepakatan di Beijing. “Kesepakatan Saudi-Iran akan berpengaruh positif bagi Yaman,” ujarnya.